Kenapa pria nggak boleh nangis? Kenapa pria harus selalu terlihat kuat? Kenapa warna pink jadi ‘milik’ perempuan? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin pernah terlintas di benakmu. Jawabannya sederhana: toxic masculinity. Konsep ini yang telah membatasi ekspresi dan potensi sebagian besar pria. Dalam artikel ini, kita akan membahas semua tentang toxic masculinity.
Mengenal Toxic Masculinity
Toxic masculinity merujuk pada keyakinan dan perilaku yang secara stereotip dikaitkan dengan sifat maskulin yang seringkali berdampak negatif pada pria, wanita, dan masyarakat secara umum.
Istilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa perilaku dan cara berpikir tertentu yang sering dikaitkan dengan maskulinitas, dari ketangguhan mental dan fisik hingga seksisme dan homofobia, memiliki dampak negatif dan seringkali berbahaya pada dunia.
Verywell Mind menyebut tiga gagasan inti dari toxic masculinity, yaitu:
- Toughness (Ketangguhan): Pria harus kuat secara fisik, cuek, dan agresif dalam berperilaku.
- Antifeminity: Pria harus menolak perilaku yang secara tradisional dianggap feminin, seperti menunjukkan emosi dan menerima bantuan.
- Power (Kekuasaan): Pria harus bekerja untuk mendapatkan kekuasaan dan status sosial maupun finansial, sehingga dihormati oleh orang lain.
Sebenarnya, istilah ini bukan sesuatu yang baru, tapi udah ada sejak beberapa dekade yang lalu. Jurnal berjudul ‘What is “Toxic Masculinity” and Why Does it Matter?’ mencatat istilah toxic masculinity pertama kali muncul dalam gerakan pria mythopoetic pada tahun 1980-an, diciptakan oleh Shepherd Bliss untuk menggambarkan maskulinitas militeristik dan otoriter ayahnya.
Selama tahun 1990-an dan awal 2000-an, toxic masculinity menyebar dari gerakan pria ke literatur self-help, akademis, dan kebijakan yang lebih luas. Literatur ini berpendapat bahwa hubungan ayah-anak yang tidak dekat secara emosional, menghasilkan pria yang toxic.
Steve Biddulph (1997) berpendapat bahwa anak laki-laki perlu sosok ayah atau mentor pria yang kuat untuk menghindari perilaku maskulin yang tidak sehat. Menurutnya, ibu tidak bisa memberikan jenis maskulinitas yang tepat untuk anak laki-laki.
Tapi, toxic masculinity juga bisa dibentuk oleh beberapa faktor, misalnya usia, ras, kelas, budaya, seksualitas, dan agama.
Seperti Apa Toxic Masculinity?
Setelah memahami apa itu toxic masculinity, sekarang saatnya kita membahas lebih dalam tentang tanda-tandanya. Dengan mengenali ciri-cirinya, kita bisa lebih waspada dan berusaha untuk mengubahnya.
- Tidak Memperhatikan Kesehatan
Bukan cuma kehidupan sosial, tapi toxic masculinity juga bisa bikin Bruver nggak sehat!
Pria yang toxic akan menganggap perawatan diri dan perhatian medis adalah tindakan yang lemah dan cuma buat wanita, sehingga pria nggak butuh pemeriksaan dokter.
Bahkan, studi di tahun 2011 menunjukkan bahwa pria yang percaya pada gagasan kalau pria harus selalu kuat dan nggak boleh menunjukkan kelemahan, cenderung lebih jarang memeriksakan kesehatan dibandingkan pria yang memiliki pandangan yang lebih moderat.
- Sulit Mengekspresikan Diri
Siapa bilang pria sejati nggak boleh nangis? Ini salah dan termasuk tanda toxic masculinity.
Ada gagasan bahwa pria itu harus kuat dan nggak boleh mengekspresikan emosinya, atau akan dianggap lemah. Padahal, menyembunyikan emosi justru bisa berdampak buruk pada kesehatan mental.
- Melakukan Perilaku Berisiko
Toxic masculinity juga memberikan gagasan kalau pria sejati harus memperlakukan tubuh mereka layaknya mesin, memaksakan diri sampai batas fisik mereka, dan nggak cukup istirahat.
Penelitian menunjukkan kalau prinsip yang kuat terhadap norma maskulin mendorong perilaku berisiko kayak konsumsi alkohol berlebihan, merokok, dan pola makan yang buruk. Pria yang menunjukkan toxic masculinity cenderung memandang pilihan-pilihan ini sebagai normal.
- Stigma Kesehatan Mental
Pria yang masih terjebak dengan pandangan maskulinitas tradisional cenderung malas untuk mencari bantuan kesehatan mental.
Toxic masculinity bikin mereka merasa nggak pantas ngomongin perasaan, jadi akhirnya lebih banyak yang ngerasa kesepian dan enggan cari pertolongan kalau ada masalah mental.
Baca Juga: Ciri Pria Scorpio Kangen.
- Homophobia
Untuk mempertahankan citra maskulinitas yang sempit ini, toxic masculinity seringkali mendorong homofobia. Dengan mengejek dan menghina homoseksualitas, pria yang menganut toxic masculinity berusaha membuktikan kejantanan mereka sendiri.
Penggunaan kata-kata seperti “gay” dan “homo” sebagai penghinaan adalah contoh nyata dari bagaimana toxic masculinity memperkuat homofobia. Kata-kata ini digunakan untuk merendahkan orang lain dan menunjukkan bahwa mereka tidak memenuhi standar maskulinitas yang dianggap “benar”.
- Ingin Menjadi Dominan
Maskulinitas yang toxic mendorong pria untuk merasa dominan dan menegaskan kekuasaan mereka, terutama dalam hubungan rumah tangga.
Misalnya, pria harus yang menentukan keputusan akhir dalam kehidupan dan mengatur segala hal di dalamnya. Wanita hanya dianggap sebagai pendamping yang patuh dan harus dilindungi.
- Tidak Mau Melakukan Pekerjaan Rumah Tangga
Bruver malas nyapu, ngepel, dan cuci piring karena merasa itu pekerjaan wanita? Jangan ya, soalnya ini salah satu ciri-ciri toxic masculinity.
Hasil riset PARAPUAN pada tahun 2021 menyebutkan kalau 58,60 persen pria masih menganggap tugas rumah tangga hanyalah sebagai tugas sampingan saja.
- Diskriminasi Terhadap Wanita
Seksisme adalah salah satu ciri utama toxic masculinity. Seksisme adalah sikap bermusuhan atau diskriminatif terhadap wanita. Pria yang menganut toxic masculinity seringkali memiliki pandangan seksis yang menganggap wanita sebagai inferior atau objek seksual.
Mereka tidak segan melakukan kekerasan, diskriminasi, membatasi peran wanita, hanya memandang wanita sebagai objek seksual dan tidak menghargai mereka sebagai individu.
- Agresif Secara Seksual
Sejak dulu, seorang pria dianggap sukses dan maskulin jika ia kaya dan punya kemampuan seksual yang hebat. Agresivitas seksual yang digambarkan dalam novel-novel saat itu, seperti keinginan untuk ‘mendapatkan’ perempuan perawan, sebenarnya adalah bentuk kekerasan. Ini menunjukkan bahwa perempuan tidak memiliki otonomi atas tubuh mereka sendiri dan harus tunduk pada keinginan pria.
- Beberapa Hobi dianggap Feminim
Aktivitas seperti menari, memasak, atau merajut sering dianggap sebagai hobi yang lebih cocok untuk perempuan. Pria yang memiliki minat pada hobi-hobi ini seringkali merasa direndahkan atau dianggap tidak maskulin.
Batasan-batasan yang dibuat oleh toxic masculinity ini dapat menghambat kreativitas dan potensi pria.
- Batasan dalam Berpenampilan
Toxic masculinity juga membatasi cara pria berpenampilan. Standar kecantikan yang sempit membuat banyak pria merasa harus selalu tampil macho, berotot, dan maskulin.
Padahal, setiap orang punya definisi keindahan yang berbeda-beda. Bayangin aja, dulu cowok pakai rok atau baju warna pink itu biasa aja, tapi sekarang dianggap aneh.
Tekanan untuk sesuai dengan citra ideal ini bisa bikin cowok jadi insecure dan nggak percaya diri. Mereka mungkin merasa harus pergi ke gym setiap hari, menghindari pakaian dengan warna pastel, serta nggak boleh pakai makeup dan skincare. Padahal, setiap orang berhak untuk mengekspresikan diri sesuai dengan kenyamanan mereka.
Rekomendasi Artikel: Topik Pembicaraan Sama Crush Agar Ngobrol Nyambung.
Dampak Toxic Masculinity
Beberapa orang percaya bahwa toxic masculinity itu berbahaya karena bikin pria jadi terbatas dalam tumbuh dan memahami apa artinya jadi laki-laki. Ini bisa menyebabkan konflik, baik dalam diri pria itu sendiri maupun dengan lingkungannya.
Konsep ini dikenal sebagai gender role conflict (konflik peran gender), yang bikin stres ketika seorang pria merasa nggak memenuhi ‘standar’ maskulin yang dipaksakan.
Kalau seorang pria, baik anak-anak maupun dewasa, melihat dunia hanya lewat sudut pandang maskulinitas yang sempit dan berlebihan, dia mungkin merasa cuma bisa diterima kalau memenuhi “ciri-ciri” tersebut.
Toxic masculinity yang dibiarkan tanpa kontrol bisa mengakibatkan berbagai masalah, seperti:
- – Bullying
- – Masalah disiplin di sekolah
- – Kesulitan akademik
- – Masuk penjara
- – Kekerasan dalam rumah tangga
- – Pelecehan seksual
- – Perilaku berisiko
- – Penyalahgunaan narkoba atau alkohol
- – Bunuh diri
- – Trauma psikologis
- – Kurangnya teman atau hubungan yang tulus
Beberapa teori juga bilang bahwa toxic masculinity bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik. Toxic masculinity bisa bikin pria enggan cari bantuan terkait masalah kesehatan atau problem lainnya.
Menahan emosi secara terus-menerus juga bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Stres, depresi, dan kecemasan bisa muncul akibatnya.
Cara Mengatasi Toxic Masculinity
Setelah memahami apa itu toxic masculinity dan dampaknya, pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana cara kita mengubahnya? Mari kita bahas langkah-langkah untuk mengatasinya.
- Hapus Stigma
Zaman sekarang, masyarakat semakin sadar untuk menghapus stigma yang memperkuat toxic masculinity. Ini nggak lepas dari peran media, khususnya media sosial, yang mewadahi orang-orang untuk mengedukasi dan berbagi pengalaman untuk melawan toxic masculinity.
Nggak cuma media sosial, tapi karya seni, film, dan musik juga banyak yang mengangkat isu ini.
- Lawan Peran Gender Tradisional
Sadari bahwa ide maskulinitas dari masa lalu nggak harus dipertahankan selamanya. Norma gender berubah seiring perkembangan masyarakat, dan identitas gender adalah urusan pribadi.
Misalnya, Bruver bisa ambil sisi positif dari maskulinitas tradisional dan buang yang negatifnya. Dengerin podcast self-help atau baca buku tentang cara melawan peran gender yang berbahaya.
- Speak Up
Speak up nggak harus langsung besar-besaran. Mulailah dari orang-orang di sekitarmu, seperti teman atau keluarga. Ketika ada yang menunjukkan perilaku toxic, coba ajak ngobrol dengan baik-baik.
Misalnya, kalau ada teman yang ngejek cowok lain karena terlalu “feminin,” Bruver bisa kasih tahu bahwa nggak ada yang salah dengan menunjukkan perasaan atau bersikap lembut.
- Gunakan Pendekatan Positif
Kritik yang membangun lebih efektif daripada langsung menyerang. Ajak diskusi dengan cara yang positif, seperti menanyakan pandangan mereka atau memberi contoh bagaimana perilaku yang lebih sehat bisa membantu. Coba ajak mereka melihat sisi lain dari maskulinitas yang lebih inklusif dan suportif.
- Dukung Orang yang Mau Berubah
Memang nggak mudah untuk melawan pemahaman atau perilaku yang sudah diterima luas, tapi nggak akan ada perubahan kalau semua orang diam saja.
Selain itu, penting juga untuk mendukung mereka yang sering jadi korban dari keyakinan toxic ini. Walaupun mereka dari kelompok-kelompok yang sering dimarginalkan ini bisa memperjuangkan diri mereka sendiri, kadang-kadang ada keraguan untuk bersuara.
Jadi, Bruver, ini saatnya kita berhenti terjebak dalam batasan-batasan toxic masculinity. Mulailah dengan hal sederhana, seperti merawat diri tanpa rasa malu. Siapa bilang pria nggak boleh pakai skincare?
Justru, pria berhak punya kulit yang sehat dan terawat.
Sabun Bruv For Men adalah langkah pertama yang bisa Bruver ambil untuk jaga kebersihan dan kesehatan kulitmu. Nggak ada salahnya untuk mulai sekarang, karena pria yang peduli sama dirinya adalah pria yang benar-benar maskulin.
Yuk, mulai rawat diri lo dengan Bruv For Men dan tunjukkan bahwa merawat diri itu bukan soal gender, tapi soal menjaga yang terbaik untuk diri sendiri!